AURELIEN BRULE BERJUANG JADI WNI DEMI OWA-OWA

id Owa-Owa

AURELIEN BRULE BERJUANG JADI WNI DEMI OWA-OWA

Meski berbagai ancaman menghadang, Chanee tidak pernah lelah berjuang untuk owa-owa (Tri Vivi Suryani)

Dulu, saya merasa menjadi tamu saja, seperti menjadi saksi mata. Sekarang, setelah saya menjadi WNI, rasanya luar biasa sekali karena merasa apa yang saya perjuangkan untuk owa-owa, itu saya lakukan di negeri saya sendiri
     Cahaya matahari menjelang siang, membayang samar di balik tumbuh-tumbuhan berdaun hijau pekat yang merambati batang 'raksasa' dalam sebuah rimba belantara di perbatasan Myanmar. 
    Burung-burung liar bersenandung sembari mencecap kesejukan embun yang tersisa, berkejaran di antara daun pakis yang berjuntaian ke tanah, sejenak mematuki serangga, kemudian hinggap di atas sebuah tenda yang dihuni Aurelien Brule.
     "Saya memutuskan tinggal di hutan ini untuk mengamati dan mempelajari kehidupan owa-owa (Hylobates muelleri) di habitat yang sesungguhnya," kata lelaki kelahiran Frejus, Perancis, 2 Juli 1979.
     Menyelami kehidupan di hutan, beraktivitas dengan berbagai satwa, membuat lelaki yang menamatkan sekolah menengah atas di Saint Raphael, Distrik Var, Perancis, ini makin memahami karakter dan kebutuhan hidup owa-owa.
     Tak terhenti menjadi 'orang hutan' di belantara Myanmar, Aurelien Brule melanjutkan penelitian menuju Thailand. Begitu intensifnya lelaki ini menelusup dalam kehidupan owa-owa, penduduk lokal pun memberi nama 'Chanee' pada Aurelien Brule. Chanee adalah sebutan untuk owa-owa dalam bahasa Thailand.
    
                         Kalimantan Tengah

     Tepat pada Mei 1998, Chanee tiba di Indonesia. Saat itu, kerusuhan tengah terjadi di Indonesia, aksi massa merebak di berbagai wilayah, namun tak membuat Chanee surut langkah.
     "Di dunia ini, terdapat 17 jenis owa. Tujuh jenis di antaranya berada di Indonesia. Inilah yang membuat saya memutuskan untuk meninggalkan Perancis dan mantap bertolak ke Indonesia," kata Chanee, yang fasih berbahasa Indonesia.
     Dalam kondisi situasi politik yang tidak menentu, Chanee pergi ke Kalimantan Tengah. Pilihannya itu dilandasi pemikiran bahwa kawasan hutan di Kalimantan Tengah masih terbilang luas. Setiba di Kalimantan, ia memulai mengobservasi kehidupan owa-owa.
     Tiga bulan kemudian, Chanee berangkat ke Dinas Kehutanan di Jakarta, untuk mengajak bekerja sama dengan Yayasan Kalaweit dalam mengkonservasi owa-owa di habitatnya. Tawaran itu bersambut baik.
     "Kalaweit itu istilah Suku Dayak untuk menyebut owa-owa. Sekarang yayasan kami sudah bisa intensif melaksanakan tiga program," kata Chanee.
     Program pertama adalah menerima satwa hasil dari perdagangan ilegal atau dari masyarakat, untuk direhabilitasi dan dikembalikan ke alam bebas. Kedua, bersama-sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), semaksimal mungkin mengamankan area konservasi agar tidak tergusur menjagi lahan perkebunan. Ketiga, menyampaikan pesan kepada masyarakat luas tentang pelestarian satwa liar melalui siaran radio Kalaweit FM.
     Berkat penyiaran lewat radio, tak disangka respon masyarakat sangat baik. Dengan kesadaran sendiri, satu demi satu masyarakat tergerak hatinya dan menyerahkan owa-owa atau hewan liar peliharaannya kepada Yayasan Kalaweit, yang kemudian dilepasliarkan kembali di hutan.

                         Pulau Hutan di Tengah Perusahaan

     "Ketika datang ke Indonesia, saya memiliki mimpi untuk melepaskan satwa-satwa dari kandang. Namun dalam realitasnya, mimpi ini sulit sekali kami wujudkan," kata suami dari Nurpradawati ini.
     Kesulitan mewujudkan mimpi, terutama karena wilayah hutan di Kalimantan kian hari makin terdesak langkah sejumlah perusahaan yang begitu agresif membuka area perkebunan kelapa sawit seluas-luasnya. Akibatnya, ruang gerak owa-owa dan beragam satwa lain menjadi terbatas.
     Bagi Chanee, dirinya tidak melarang keberadaan perkebunan kelapa sawit, namun jangan sampai mengorbankan dan memusnahkah wilayah hutan agar satwa tetap memiliki habitat untuk berkembang biak, serta menikmati kehidupan dalam keramahan alam.
      "Sekarang ini, lahan hutan sudah dikepung perusahaan. Ibaratnya, lahan konservasi adalah pulau hutan di tengah-tengah perusahaan. Kalau begini kondisinya, di mana lagi satwa bisa hidup sewajarnya?" ucap Chanee dengan nada menyimpan kecewa.
     Berkat kerja keras dan sumbangan dari berbagai donatur, Yayasan Kalaweit berhasil membeli lahan seluas 8 hektare di wilayah Kalimantan Tengah untuk lahan konservasi satwa. Selain itu, bersama
BKSDA, Yayasan Kalaweit senantiasa bahu-membahu untuk menjaga Cagar Alam Pararawen di Barito Utara, Kalimantan Tengah seluas 6.000 hektare agar tetap lestari. 
      Sementara itu, di Sumatera Barat, Yayasan Kalaweit mendirikan tempat perlindungan owa-owa di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, di atas lahan seluas 140 hektare.
     "Yang jelas, sampai kapanpun, kami akan berjuang untuk mempertahankan hutan. Seharusnya ada UU yang mengatur agar hutan dicagaralamkan sehingga lingkungan hidup dan satwa itu terlindungi," ucap ayah dari Andrew Ananda Brule dan Enzo Gandola Brule, dengan nada tegas.
     Ketegasan sikap Chanee, ternyata banyak mendatangkan intimidasi kepada dirinya dan keluarganya. Beberapa tahun lalu, rumah Chanee pernah didatangi beberapa orang yang membawa pisau dan mengancamnya.
     "Bukan hanya itu. Dulu kami tinggal di sebuah kapal, yang diformat menjadi rumah. Tapi mendadak kapal itu ditenggelamkan oleh orang-orang tidak dikenal, dicurigai ada hubungan dengan penebang yang memang mengincar kawasan owa-owa. Tapi, sudah 16 tahun kami berjuang agar owa-owa dan satwa liar mempunyai hutan untuk hidup, jadi kami tidak akan mudah menyerah begitu saja," kata Chanee.

                         Biro Jodoh

     Ketertarikan Chanee pada owa-owa, memiliki perjalanan sejarah tersendiri. Pada 1992 silam, saat berusia 12 tahun, dia diajak ibunya berpiknik ke kebun binatang di Perancis. Beberapa primata diamatinya dengan kekaguman tersendiri, karena terlihat ceria dan gembira bersama teman-temannya.
     Begitu sampai di kandang owa-owa, dia tertegun sejenak. Dilihatnya owa-owa terlihat merana dan sendirian. Ekspresinya wajahnya begitu sedih dan mengambarkan rasa kesepian mendalam. Pengalaman ini membuatnya penasaran, hingga saat libur sekolah berikutnya, dia kembali minta diantarkan keluarganya ke kebun binatang.
     "Setiap Rabu pagi, saat libur sekolah, saya datang ke kebun binatang khusus untuk mengamati owa-owa. Mencoba mempelajari ekologi dan kepribadiannya. Saat kebun binatang tutup, baru saya pulang," katanya.
     Kegiatan mempelajari karakter owa-owa ini begitu membekas di hari Chanee, hingga ia memberanikan diri untuk menghadap pimpinan kebun binatang, terkait minatnya yang besar pada owa-owa. Saat itu, Chanee menawarkan diri untuk menjodohkan owa-owa.
     Ide Chanee diapreasi dengan baik. Sejak itu, dia sering berkeliling ke berbagai kebun binatang di Perancis untuk menjodohkan owa-owa.  
     "Saya rela membuka biro jodoh untuk owa-owa, agar satwa ini tidak sampai punah," ucap lelaki ini sembari tertawa.
     Minatnya yang besar terhadap owa-owa, membuat Chanee tertarik menuliskan berbagai pengalamannya selama mengamati perilaku dan karakter satwa itu. Semula dia berpikir tulisannya hanya akan diminati kalangan terbatas saja.
     Namun, begitu ditawarkan kepada penerbit, ternyata mendapatkan perhatian yang mengejutkan. Editor penerbit menyatakan jika naskah Chanee sangat layak untuk diterbitkan. Usia Chanee yang ketika itu baru 16 tahun, tapi sudah mampu mengerjakan buku yang begitu intens tentang mengupas kehidupan detil owa-owa, menjadi poin plus tersendiri.
     Begitu buku berjudul 'Le gibbon a mains blanches' itu diterbitkan dan muncul di pasaran, ternyata memang cukup menarik perhatian masyarakat. Bahkan, usai membaca buku itu, seorang artis Muriel Robin seketika berminat untuk bertemu dengan Chanee.
     "Ketika bertemu, Muriel Robin menawarkan dukungan dana agar saya dapat pergi ke Thailand untuk melihat owa-owa langsung di kehidupan aslinya. Itu makanya saya bisa pergi ke perbatasan Myanmar dan Thailand, berkat sokongan dana tersebut," ujar dia.
 
                         WNI

     Perjalanan ke berbagai negara, menumbuhkan rasa cinta yang kian dalam pada diri Chanee terhadap owa-owa. Luapan perasaannya makin bertumbuh tatkala sejak 2012 lalu, dirinya resmi menjadi warga negara Indonesia (WNI), setelah bertahun-tahun tiada lelah memperjuangkan diri agar bisa mendapat kewarganegaraan itu.
     "Dulu, saya merasa menjadi tamu saja, seperti menjadi saksi mata. Sekarang, setelah saya menjadi WNI, rasanya luar biasa sekali karena merasa apa yang saya perjuangkan untuk owa-owa, itu saya lakukan di negeri saya sendiri," kata Chanee, dengan nada terharu.
     Sampai kapanpun, Chanee memang bertekad tidak akan berhenti untuk memperjuangkan owa-owa agar mendapatkan kehidupan yang layak. Tidak terikat rantai atau terkurung di kandang. Melalui Kalaweit FM, Chanee terus berusaha mengajak masyarakat luas, termasuk generasi muda, agar peduli kepada satwa liar.
     Bagi Chanee, memperjuangkan satwa liar seolah menjadi napas dalam kesehariannya, makanya tidak jarang hatinya terasa teriris tatkala melihat owa-owa atau binatang lain jika mengalami kondisi buruk dari manusia.
     Di sisi lain, hatinya serasa memberontak melihat perkebunan kelapa sawit berkembang demikian cepat, hingga ruang gerak satwa makin terbatas dan terus menyusut.
     "Perasaan saya campur aduk. Sangat sedih melihat kondisi satwa liar makin terancam. Misalnya, saya berhasil menyelamatkan satu ekor satwa, di tempat lain, ada 100 binatang yang dimusnahkah. Ini menyakitkan sekali. Makanya saya tidak pernah lelah berjuang," ujar Chane dengan suara penuh kesedihan.
     Perjuangan Chanee agar satwa kembali ke habitatnya, juga disebabkan agar owa-owa tidak mengalami tekanan hidup atau stres. Misalnya, owa-owa, jika hidup di alam liar, usianya bisa mencapai 30-35 tahun. Namun, jika dipelihara manusia, usianya maksimal hanya mencapai 10 tahun.
     Biasanya, dalam masa pemeliharaan manusia, begitu menginjak umur tujuh tahun, owa-owa sudah terdera penyakit, karena memang satwa ini sangat sensitif terhadap stres. Salah satu penyebab stres apabila owa-owa dibelenggu menggunakan ikat pinggang. Lama-lama, dengan kondisinya ini, mengakibatkan owa-owa stres, gila dan disusul kematian segera merenggutnya.
     Begitu kuat keinginan Chanee ingin melindungi owa-owa dan satwa liar lain, sampai-sampai dirinya tidak tergerak ingin membuka 'ecotourism', apalagi jika bertujuan komersial.
     "Kalau dibuka ecotourism, belum tentu kawasan akan tetap terjaga aman. Saya belum menginginkan untuk membuka ecotourism, karena saya pikir kita belum siap, masyarakat pun belum siap. Biar seperti sekarang, owa-owa dan satwa lain terlindungi di lahan konservasi," kata Chanee.

*) Penulis buku dan artikel