Slamet Hapuskan Kekeringan dengan Membelah Perbukitan

id Slamet Ijo Balit

Slamet Hapuskan Kekeringan dengan Membelah Perbukitan

Slamet didampingi istri, yang berhasil menyelamatkan warga Ijo Balit dari kekeringan (Tri Vivi Suryani)

Tidak hanya sekadar berhenti sebagai pembebas warga dari kekeringan berkepanjangan, Slamet kini mencanangkan mimpi lain yang ingin segera direalisasikan. Mimpi itu adalah membangun rumah sakit gratis bagi warga miskin
Hari masih gulita dan hamparan tanah masih belum terlihat secara kasat mata, namun suara ayunan cangkul sudah memecah keheningan pagi di Kelurahan Ijo Balit, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Dalam bayang kegelapan pagi itu, sesosok lelaki kurus terlihat mengayun cangkul dengan gerakan pasti. Ketika sudah terbentuk lubang tanam, tangan lelaki itu mengambil sebuah bibit pohon dan menanamnya. Begitu, dan begitu seterusnya.

"Menanam pohon selalu saya lakukan setiap ada waktu. Seluruh lahan saya yang seluas 50 hektare, penuh dengan macam-macam pohon, tapi mayoritas ditumbuhi pohon kelapa," kata H Lalu Slamet Suryawan Sahak.

Padahal menanam pohon, bukanlah pekerjaan turun-temurun lintasgenerasi dalam keluarga Slamet. Ibunya, Hj Slamah, merupakan guru pertama di Selong, Lombok Timur, dan pernah tinggal di rumah Bung Karno di Blitar ketika sedang menempuh pendidikan.

Jalur pendidikan memang mendapat prioritas utama dalam keluarga Slamet. Atas dasar ini Slamet memilih kuliah jurusan arsitektur di sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta. Setamat kuliah, Slamet pun pulang ke rumah orang tuanya di Selong.

Merasa dirinya sebagai seorang Marhaenis, maka setelah menikah dengan gadis dari Natuna, Dewi Itari, Slamet memutuskan tinggal di Ijo Balit pada tahun 1982, dan tinggal di lahan warisan orang tua seluas 3 hektare. Lelaki itu bertekad membangun usaha sendiri dengan segala kemampuan dan `skill` yang dimilikinya.

Mula-mula Slamet menekuni pekerjaan sebagai pemborong, sesuai `background` pendidikannya. Namun lama-lama batinnya terusik karena pekerjaan itu sering membuatnya tidak jujur terhadap konsumen. Akhirnya, lelaki itu memutuskan beralih pekerjaan sebagai penambang bahan galian, seperti pasir, batu apung dan kerikil untuk bahan bangunan.

Penghasilan dari pekerjaannya ini dibelikan tanah, sehingga lama-lama tanah milik Slamet menjadi luas dan mencapai puluhan hektare. Seiring meluasnya lahan yang dimiliki, Slamet berkeinginan menanami dengan beraneka pepohonan. Sayangnya, keinginannya bertanam di lahan miliknya terhalang kondisi alam yang sangat gersang akibat ketiadaan air.

Setelah mengamati kondisi lingkungannya, Lalu Slamet pun memutuskan untuk melakukan langkah ekstrim untuk membebaskan lingkungan tempat tinggalnya dari kekeringan yang sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang dulu kala. Dia bertekad menghapus kekeringan dari wilayah Ijo Balit.

                Membelah Bukit

Di sela-sela pekerjaannya sebagai penambang pasir, Lalu Slamet mengamati kontur alam lingkungannya dan mendapati keberadaan Sungai Sordang yang berair deras dan airnya kencang mengalir ke lautan. Penghalang air sungai mencapai desa karena keberadaan perbukitan setinggi 14 meter di wilayah Ijo Balit.

Slamet pun bergerak penuh keyakinan, dengan mengumpulkan beberapa warga dan mengusulkan untuk bersama-sama membelah bukit itu, agar air bisa mengaliri Ijo Balit. Namun, usulan Lalu Slamet justru diremehkan, dan dirinya dianggap sebagai orang gila terkait idenya yang dinilai sangat melenceng dari kewajaran itu.

Menghadapi tudingan sebagai orang gila, justru tidak membuat Slamet menyerah dan patah harapan. Dengan dukungan beberapa orang yang bersimpati, pada pada tahun 1991 Slamet pun mengambil langkah pasti untuk memulai membelah perbukitan. Tanpa perduli guyuran hujan dan terik matahari, lelaki itu terus mengayun linggis mencoba mengalahkan kerasnya bebatuan bukit itu, dibantu beberapa warga dengan sistem bergotong royong.

Salah satu kiat yang selalu dipegang Lalu Slamet untuk menggerakkan warga agar mau bergotong royong adalah menerapkan falsafah Tut Wuri Handayani, artinya dengan memberi contoh dan keteladanan lebih dulu pada penduduk.

"Misalnya, kalau kita mengajak masyarakat mencangkul, maka kita harus memberi contoh lebih dahulu. Makanya saya selalu mencangkul saat pagi-pagi gelap. Ketika tanah belum kelihatan, saya sudah sibuk di kebun. Contoh lainnya, kalau kita menyuruh orang mengangkut pasir, orang mengangkut satu karung maka kita harus mengangkut tiga karung. Nah, seperti itulah pelaksanaan Tut Wuri Handayani," katanya.

Ketegaran sikap dan keyakinan atas pilihan pemikiran itu akhirnya membuahkan hasil menakjubkan meski dengan waktu yang tidak sebentar. Sekitar lima tahun berselang, bukit itu akhirnya terbelah. Slamet makin bersemangat, kemudian dilanjutkan dengan membuat saluran sepanjang 4 km untuk mengalirkan air dari sungai menuju perkampungan.

Detik demi detik ketika air mengalir melewati perbukitan dan saluran menuju perkampungan, bagi Slamet adalah sesuatu yang tidak terlupakan dan begitu menggetarkan hati. Dan begitu air benar-benar dapat membasahi bumi Ijo Balit, segenap penduduk bersuka cita merasakan keharuan mendalam.

Kini, penduduk Ijo Balit tidak hanya menggantungkan hidup sebagai pencari pasir dan batu alam, melainkan rajin bertanam berbagai macam palawija, buah-buahan dan pepohonan kayu. Ijo Balit yang semula adalah lahan gersang diselimuti debu-debu beterbangan, sekarang berubah menjadi daratan menghijau yang menawarkan ribuan pengharapan bagi warga.

                Rumah Sakit Gratis

Tidak hanya sekadar berhenti sebagai pembebas warga dari kekeringan berkepanjangan, Slamet kini mencanangkan mimpi lain yang ingin segera direalisasikan. Mimpi itu adalah membangun rumah sakit gratis bagi warga miskin, sehingga penduduk yang lemah ekonomi tidak merisaukan biaya jika menderita sakit.

Mimpi Slamet tentang sebuah rumah sakit gratis, bermula ketika kelahiran anak keduanya, Baiq Nurlatifah, yang berbarengan dengan meninggalnya seorang warga karena ketiadaan biaya untuk berobat. Seketika batin Slamet tersentak, dan spontan dirinya mencanangkan mimpi untuk memiliki rumah sakit gratis bagi warga miskin.

"Beruntung anak saya Baiq Nurlatifah memiliki intelektual yang bagus, sehingga setelah lulus SMA, langsung daftar di fakultas kedokteran di sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta. Setelah lulus, anak saya kini bekerja di rumah sakit di Selong, sekaligus membuka praktik di rumah," katanya.

Buka praktik ini, ujar lelaki usia 57 tahun ini, sengaja diniatkan sebagai pelayanan gratis bagi warga sekitarnya. Bahkan, jam berapapun pasien datang, Baiq Nurlatifah tidak akan keberatan menerima dan mengobati. Akan tetapi, walau sudah dinyatakan gratis, kadang-kadang warga membayar seikhlasnya, misalnya Rp5 ribu - Rp10 ribu.

"Tapi memang saya rencanakan gratis. Nanti, kalau rumah sakit itu terbangun, saya sudah niatkan bahwa hasil kebun saya dari ribuan pohon kelapa, akan digunakan untuk membayar tenaga medis dan membeli obat-obatan," ucap dia.

Begitu rencana pembangunan rumah sakit gratis ini tersiar, lanjut dia, beberapa pihak langsung menghubungi dan menyumbang bahan bangunan. Seperti menyumbang keramik, rangka besi dan lainnya. Bahkan, salah seorang pengusaha nasional, Ricardo Gelael, sudah menghubungi Slamet dan berencana membangunkan rumah sakit itu disertai peralatan medisnya.

"Sesungguhnya ini adalah tangan Tuhan yang bekerja. Saya bersyukur sekali. Yang jelas, saya tidak akan takut melakukan apapun sepanjang Tuhan menyertai langkah saya. Ini keyakinan saya," katanya.

Slamet pun meyakini bahwa berkat keajaiban Tuhan yang telah mengiringi langkahnya, sehingga berbagai liputan media silih berganti meliput aktivitasnya.

"Awalnya saya tidak suka didatangi media, takut dibilang memamerkan pekerjaan saya. Tapi saya lantas berpikir, jika apa yang saya lakukan dapat menjadi contoh yang baik, saya pikir toh tidak ada salahnya," kata lelaki yang baru saja dinobatkan sebagai salah satu pemenang Liputan 6 Awards dari sebuah televisi nasional untuk kategori pemberdayaan masyarakat.