Andre Graff: Mimpi Bebaskan NTT dari Kekeringan

id Andre Graff

Andre Graff: Mimpi Bebaskan NTT dari Kekeringan

Andre Graff sedang menggali sumur di Sumba, Nusa Tenggara Timur (Ist)

Batin lelaki ini menjadi tersentak melihat perempuan dan anak-anak berjalan kaki terengah-engah di siang hari yang terik, melewati jalanan berkilo-kilo meter, dan mendaki gunung, demi mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari
     Meninggalkan kehidupan mapan di Prancis, seorang Andre Graff justru memilih tinggal dan menetap di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, demi menjalani kehidupan sebagai tukang penggali sumur bagi warga yang hidupnya terdera kekeringan berkepanjangan.

      Keputusan pergi dari Prancis dan akhirnya tinggal di bawah langit Sumba Barat, menurut Andre, memiliki rentetan kisah sejarah tersendiri.

      "Dulu saya adalah pilot balon udara. Sejak tahun 1985 - 2004, saya menderita sakit keras dan nyaris mengalami kelumpuhan, sehingga berpotensi merenggut nyawa saya," kata lelaki kelahiran Alsace, Munster, Prancis, 24 Juli 1957.

      Setelah berhasil sembuh dari penyakitnya, Andre dan beberapa temannya memilih berlibur ke Bali. Setiba di Pulau Dewata dan melewatkan hari-hari dalam atmosfir budaya serta alam lingkungan yang eksotis, mereka menyewa sebuah kapal dan melakukan perjalanan wisata hingga sampai di sejumlah kepulauan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kepulauan Riung, Sabu Raijua, Sumba, dan Lembata, menjadi persinggahan wisata Andre dan teman-temannya.

      Tertarik dengan kehidupan penduduk lokal, Andre langsung memutuskan tinggal sejenak untuk mengabadikan aktivitas keseharian warga dalam menjalankan roda kehidupan menggunakan kamera. Seperti, kegiatan tatkala warga menggembala ternak, atau tengah larut dalam lantunan doa saat melakukan ritual adat.

      Setelah foto-foto tercipta, dia kembali lagi ke Prancis dan berjanji suatu saat akan kembali lagi untuk memberikan hasil bidikan kameranya kepada warga setempat. Setiba di tanah kelahirannya, Andre mendapati foto-foto itu ternyata berjumlah ribuan. Kalau dikirimkan kepada warga sesuai yang dijanjikannya, Andre meragukan kalau foto-foto itu sampai kepada yang dituju, mengingat alamatnya berada pada suatu tempat yang terpencil.


                         Ledetadu

      Andre akhirnya kembali lagi ke NTT untuk memberikan langsung foto-foto itu kepada warga pada periode Agustus 2004, dan meneruskan perjalanan seperti layaknya seorang turis. Pada Juni 2005, Andre pergi ke Sabu Raijua dan tertarik menjalani kehidupan di sebuah kampung adat Ledetadu, yang nilai-nilai tradisionalnya masih terjaga.

      Akan tetapi di sisi lain, Andre mendapati bahwa kehidupan masyarakat Ledetadu selama ini dibelit masalah ketiadaan air bersih. Batin lelaki ini menjadi tersentak melihat perempuan dan anak-anak berjalan kaki terengah-engah di siang hari yang terik, melewati jalanan berkilo-kilo meter, dan mendaki gunung, demi mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari.

      Ketiadaan air bersih yang memadai, membuat anak-anak tidak mandi kalau bersekolah dan melakukan MCK secara sembarangan. Keadaan ini, membuat sejumlah penyakit tumbuh di perkampungan adat itu. Seperti, malaria, bisul, gatal-gatal, TBC dan sejumlah penyakit kulit lainnya. Andre menjadi tersentuh melihat kondisi ini, sehingga ingin berbuat sesuatu bagi warga yang mengalami kesulitan mendapatkan air.

      Ketiadaan air, membuat warga benar-benar dilingkupi kesulitan. Untuk mencari air, warga membutuhkan waktu berjalan kaki dari 2-3 jam. Air itu digunakan untuk memberi minum ternak dan keperluan hidup sehari-hari.

      "Saya terpikir, bagaimana sebuah keluarga bisa maju kalau urusan air memakan semua energi yang mereka miliki. Saya terutama kasihan pada anak-anak dan para perempuan, yang bertugas mencari air," ujarnya.

      Suatu ketika, Andre berjumpa dengan Pastor Frans Lakner, yang mengabdikan hidupnya di Sabu. Pastor ini kemudian mengajari Andre cara membuat sumur dan memasang gorong-gorong yang menggunakan bahan dari beton. Tujuannya, supaya air tidak terkontaminasi dengan kotoran atau lumpur.

      Andre kemudian kembali ke Lededatu, Sumba, dan memesan alat untuk membuat sumur. Sumur ini berhasil mengeluarkankan air dan kemudian dipergunakan oleh 1.250 keluarga. Keberhasilan ini memacu Andre meneruskan membuat sumur lagi di daerah sekitar Lededatu hingga sekarang.

      "Sampai sekarang, lebih dari 29 sumur yang saya bikin bersama Pilot Project Waru Wora ((PPWW), yang dimanfaatkan antara 25 ribu - 30 ribu orang. Sumur itu dibuat antara kedalaman 5 meter sampai 20 meter, tergantung pada tempat dan geologisnya. Dan masih ada beberapa sumur yang sedang kami gagas untuk dibikin lagi," ujar lelaki yang sering dipanggil Andre Sumur.

      Selain pembuatan sumur, Andre juga berkeinginan membuat filtrasi air di Lamboya, agar masyarakat bisa langsung menikmati air sumur tanpa memasaknya lebih dulu. Selain hemat waktu, adanya filtrasi juga mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan karena masyarakat tidak terlalu banyak masak menggunakan kayu bakar.

      Ke depan, Andre mengharapkan pemerintah memiliki kepedulian terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan terhadap masyarakat, agar selanjutnya bisa saling berkolaborasi ketika melakukan program kegiatan.

      "Selama ini, untuk mewujudkan program, saya masih sering dihadang masalah pendanaan. Memang kadang ada juga teman dari Prancis, atau donatur dari Jakarta, tapi belum juga mengatasi semua masalah karena datangnya bantuan sering tidak cukup dari dana yang dibutuhkan," kata alumnus Universitas Louis Pasteur, Strasbourg, Prancis itu.


                          Bertanam Sayuran

      Pada penghujung 2007, setelah penduduk Sabu Raijua dapat membuat sumur sendiri, Andre pun memutuskan tinggal di Lamboya, Sumba Barat. Lelaki ini tinggal bersama Rato atau Kepala Suku Kampung Waru Wora, Desa Patijala Bawa. Bersama kepala suku, Andre melakukan pencarian air dan menentukan lokasi sumber air tanah, dengan kemampuan khusus yang dimiliki para rato tersebut.

      Sebuah kemajuan besar dibuat Andre pada Agustus 2011, ketika akhirnya dilakukan peresmian pengoperasian proyek air minum bernama Proyek Percontohan Waru Wora (PPWW) yang menggunakan tenaga surya, oleh Bupati Sumba Barat. Untuk merealisasikan proyek ini, Andre menggunakan sebagian dana pribadi, serta mendapat bantuan dari perusahaan pompa air Shimizu, Palyja Jakarta, Rotary Club di Belanda dan Pemda Sumba Barat.

      "Saya bersyukur, sekarang 11 kampung di Desa Patijala Bawa tidak lagi kekurangan air bersih. Ini adalah perubahan yang berarti bagi saya. Sama seperti saya tidak menyangka perubahan hidup saya dari Prancis, dan kini tertambat di Sumba," ujar dia.

      Perubahan hidup Andre, yang semula hidup mapan di Prancis, kini menjadi lelaki penggali sumur di tanah Sumba, sama sekali tidak pernah disesalinya. Bagi Andre, mengenal hingga menerbitkan rasa jatuh cinta pada bentangan `pinu tana` Sumba, adalah bagian dari garis kehidupannya.

      "Membuatkan sumur bagi orang Sumba, yang saya mulai dari tahun 2005 ketika saya mengawali dengan menjual aset-aset pribadi, sama sekali tidak menjadi catatan penyesalan saya," ujarnya.

       Bahkan, demi membiayai proyek untuk membangun sumur, tabungan Andre senilai ratusan juta rupiah pun habis. Untuk menopang kehidupannya, Andre mendirikan rumah sederhana dikelilingi kebun sayur-mayur yang ditanamnya sendiri. Sayur-mayur ini yang dikonsumsi Andre untuk kebutuhan hidup.

       "Saya juga memiliki rumah di Prancis yang disewakan. Hasil sewa ini yang saya gunakan untuk kebutuhan hidup, meski itu tidak banyak karena rumah tersebut berukuran kecil," katanya.

      Kebutuhan hidup lain yang harus ditanggung Andre adalah setiap tahun harus menyediakan uang sekitar Rp22 juta. Uang itu dipergunakan untuk untuk memperpanjang izin tinggal di Indonesia. Selain pengurusan visa, juga untuk biaya transportasi ke Singapura, sembari menunggu visa baru diterbitkan.

      "Tapi saya tidak menyesali semua ini. Saya malah memimpikan untuk membuat sumur-sumur lain di seluruh wilayah NTT, tidak terbatas di Sumba saja, untuk menyelamatkan warga dari kekeringan," kata lelaki yang mendapat julukan `Amaenudu` atau seseorang yang baik hati di lingkungan masyarakat Sumba.