Dayu dan Kisah Pembelajaran di Bawah Pepohonan

id Dayu Puri Damai

Dayu dan Kisah Pembelajaran di Bawah Pepohonan

Dayu sedang menjelaskan berbagai jenis dan khasiat tanaman langka di Puri Damai (Tri Vivi Suryani)

Kami biasa mengajak anak-anak belajar di bawah pohon, dan berlatih mengenali angka dengan menghitung jumlah daun, ranting atau bunga
Suara tawa, canda dan celoteh riang kanak-kanak bergema di bawah bayang pepohonan menghijau di sebuah sekolah alam di lingkungan Banjar Tunon, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

"Saya mendirikan sekolah setingkat PAUD dan TK berbasis alam sejak tahun 2010. Kami biasa mengajak anak-anak belajar di bawah pohon, dan berlatih mengenali angka dengan menghitung jumlah daun, ranting atau bunga," kata Ida Ayu Rusmarini, pendiri sekolah alam sekaligus penggagas berdirinya kelompok Putri Toga Turus Lumbung Puri Damai.

Pendirian sekolah alam ini, agar anak-anak mendapat pembekalan pengetahuan serta melewati proses tumbuh kembang dalam keseimbangan dan keselarasan bersama lingkungan. Hal ini yang melatari sehingga proses pembelajaran sering kali dilakukan di luar ruang kelas.

Menurut wanita yang akrab dipanggil Dayu ini, ketika anak-anak belajar di bawah pepohonan, menghirup udara yang bersih, dan mengamati secara langsung anatomi tumbuh-tumbuhan, ternyata membuat anak-anak dapat belajar dengan cepat dan lebih gampang memahami, ketika diberikan materi pelajaran pengetahuan alam.

"Saya memang ingin mengajak masyarakat untuk kembali kepada lingkungan. Melalui anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, kecintaan pada lingkungan ini ditumbuhkan, sehingga akan berkesinambungan pada generasi berikutnya," ujar ibu dari tiga putra-putri ini.

Dayu menyatakan murid yang terdaftar pada sekolah alam ini berjumlah 58 siswa. Dia berharap, suatu saat nanti bisa membangun pendidikan berbasis alam pada tingkat yang lebih tinggi, karena manfaatnya sangat besar bagi masyarakat.

Anak-anak yang menunjukkan gejala autis, lanjut Dayu mencontohkan, setelah diberi detoks melalui daun-daunan yang mengandung obat tradisional, kondisinya menjadi membaik secara signifikan.

Sementara itu, guru-guru yang menjadi pendidik di sekolah, semula merupakan sejumlah ibu rumah tangga yang bekerja menjadi buruh tani di Banjar Tunon. Setelah menjalani pendidikan, ibu-ibu tersebut kini menjalani profesi baru sebagai guru di sekolah alam.

                          Lembu Putih

Di sela-sela kesibukan mengurusi sekolah alam dan menjadi anggota staf Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gianyar, Dayu masih menyempatkan diri melakukan program pemberdayaan masyarakat. Saat ini, wanita kelahiran 9 Nopember 1960 ini tengah melakukan pemberdayaan masyarakat di Tampaksiring.

"Kami membentuk program desa sadar lingkungan, mengajak masyarakat untuk kembali pada pertanian organik, menciptakan lingkungan bersih dan selanjutnya membangun bank sampah," kata istri dari I Wayan Damai ini.

Sebelum di Tampaksiring, program pemberdayaan dilakukan di Desa Taro. Langkah ini ditempuh mengingat dahulu kala, warga Taro masih tergolong masyarakat yang berpikiran lugu dan gampang mengambil keputusan menjual tanah kepada orang luar.

Melalui program pemberdayaan, Dayu mengajak masyarakat agar tidak sembarangan menjual tanahnya. Dayu juga mendekati anak-anak muda supaya mereka tidak tidak tergiur bekerja di luar negeri, namun memberi pengertian supaya terpikir untuk memperbaiki lingkungan tempat tinggal mereka.

"Taro sesungguhnya lingkungan yang indah dan memiliki objek wisata gajah sehingga dikenal sebagai destinasi unik. Selain itu, Taro mempunyai plasma nutfah satu-satunya di dunia, yaitu keberadaan lembu putih," ujar wanita kelahiran Denpasar, 9 November 1960.

Keberadaan lembu putih, seharusnya kian memperkuat Taro sebagai objek wisata yang memiliki pesona berbeda dengan objek wisata lain di Bali.

Melalui keberadaan wisata gajah dan lembu putih, maka kotoran satwa-satwa itu dapat diolah menjadi biogas dan pupuk bagi tanaman. Bahkan, berkat pemeliharaan intensif, baru-baru ini ada lembu putih yang beranak sehingga tidak lagi dikhawatirkan terjadi kelangkaan satwa itu.

Dayu mengharapkan selanjutnya ada penataan taman wisata lembu putih dan penanaman berbagai macam tumbuhan agar sesuai hakikat nama Taro, yang maknanya adalah `sarwa` ada atau serba ada.

"Selangkah demi selangkah, kita sampai pada Taro yang indah dan mampu mensejahterakan warganya. Kini warga merasakan manfaat setelah penampilan Taro lebih asri, maka banyak rombongan wisatawan dan pelajar yang betah berkemah," katanya.

Banyaknya pelancong yang berkemah, membawa keberkahan bagi penduduk. Para ibu rumah tangga dapat menyediakan makanan bagi pelancong, sehingga memiliki penghasilan tambahan. Nilai positif tersebut yang membuat warga Taro belakangan ini, sering berinisiatif sendiri untuk membersihkan lingkungan tempat tinggalnya.

Langkah pemberdayaan ini tidak hanya dilakukan di Taro dan Tampaksiring. Beberapa waktu sebelumnya, Dayu juga melaksanakan langkah serupa di wilayah Jimbaran dan Masceti, dengan melakukan penataan dan penghijauan lingkungan.

"Dulu di Masceti terlihat berantakan dan tidak bagus dipandang sebagai objek wisata pilihan. Padahal di Masceti ada pura kuno yang seharusnya mendapatkan perhatian tersendiri," ucap Dayu.

Prihatin melihat lingkungan Masceti yang kurang terurus, akhirnya Dayu melakukan pembenahan lingkungan dengan menata taman dan menanam beberapa jenis tumbuhan. Semak-semak yang berantakan, dilakukan penataan ulang. Pembenahan ini membuat lingkungan Masceti yang semula terkesan kumuh, sekarang berubah menjadi objek wisata yang diminati warga untuk bersantai.

"Sekarang ini banyak yang berpiknik di Masceti. Bahkan, pencinta yoga sering melakukan aktivitas di kawasan pantai itu. Jauh berbeda dengan Masceti dulu, yang tidak diperhitungkan sebagai objek wisata karena lingkungannya kurang menarik dilihat," kata wanita yang berkeinginan memperjuangkan eksistensi Tari Parwa di wilayah Pejeng Kangin.


                     Puri Damai

Kegiatan lain yang tidak kalah menyita waktu Dayu adalah mengurusi Puri Damai, sebuah rumah pengobatan tradisional yang didirikan bersama keluarga di Banjar Tunon Pengobatan tradisional ini menggunakan bahan-bahan alami memakai ratusan jenis tanaman yang sudah bertahun-tahun dikumpulkan Dayu dari berbagai daerah, dan ditanam di areal rumahnya yang berada di lahan seluas 1 hektare.

Untuk memaksimalkan peran warga di sekitarnya, pada tahun 1997 Dayu membentuk kelompok Putri Toga Turus Lambung Puri Damai. Anggota kelompok yang kini berjumlah 150 perempuan ini, dibina untuk mengenali ciri-ciri dan khasiat beragam tanaman, serta mengolahnya sebagai obat tradisional.

"Saya sudah lama mengumpulkan koleksi tanaman obat, langka dan tumbuhan upakara. Jumlahnya sekarang sekitar 600 jenis tumbuhan, dan ditanam di beberapa lahan," ujarnya.

Pasien yang datang ke Puri Damai, akan mendapat terapi pengobatan dengan berbagai bahan dari tanaman obat, seperti tumbuhan keladi tikus, kumis kucing, tapak dara, pegagan dan lainnya, sesuai dengan jenis penyakit yang diderita. Tak hanya pasien lokal, sesekali orang asing pun memilih berobat ke Puri Damai ketika merasakan ada gangguan kesehatan pada tubuhnya.

Belakangan ini, ujar Dayu, beberapa dokter malah melakukan studi di Puri Damai untuk melengkapi pengetahuan obat-obatan berbahan baku dari alam.

"Memang sebaiknya ada keseimbangan antara medis dan non-medis sebagai langkah penyembuhan terhadap pasien. Apalagi akhir-akhir ini banyak bermunculan penyakit degeratif, sehingga petugas kesehatan menjadi kewalahan karena pasien membludak," katanya.

Bermunculannya penyakit yang menghinggapi masyarakat, membuat Dayu makin intensif menyadarkan masyarakat agar kembali kepada alam. Penyadaran ini supaya masyarakat tergerak untuk kembali kepada jati dirinya, sehingga kehidupannya seimbang dan sehat secara jasmani-rohani.

Langkah ajakan untuk mendekatkan masyarakat kepada alam, diakui Dayu tidak selalu berjalan mulus. Tidak jarang, Dayu mendapat halangan dan rintangan tertentu dari sejumlah masyarakat.

"Saya tidak memikirkan halangan. Biasalah kerikil-kerikil dalam kehidupan, saya disangka cari muka dan lainnya. Saya tidak pedulikan itu, biarlah alam yang menghukum. Yang jelas saya tidak memikirkan materi, yang penting dalam keseharian ucapan dan pelaksanaan sama," ujarnya, seraya menyatakan rasa bersyukur ketika kelompok Putri Toga Turus Lambung Puri Damai mendapat penghargaan dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia pada Februari 2012.

*) Penulis buku dan artikel