Pengabdian Ocong Diesel demi Kebeningan Pantai Ampenan

id Pantai Ampenan

Pengabdian Ocong Diesel demi Kebeningan Pantai Ampenan

Ocong Diesel (berkaos putih) bersama anggota Kelompok Lestari Alamku (Ist)

Inilah yang sungguh saya sayangkan, ketiadaan mobil pengangkut, membuat sampah tetap menjadi permasalahan tak terselesaikan di kawasan pantai di Ampenan.
"Sewaktu memulai sosialisasi kepada warga supaya turut menjaga kebersihan di pantai, saya mendapat tudingan macam-macam. Ada yang bilang LSM mau cari dana, ada yang menyebut pencitraan mau maju jadi anggota dewan, dan sejumlah tudingan lain," kata Ocong Diesel, seorang pemerhati lingkungan sekaligus pelaku usaha "event organizer".

Tudingan demi tudingan itu tidak lantas membuat lelaki asal Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, ini patah arang. Dia tetap getol melakukan sosialisasi pada warga yang tinggal di kawasan Pantai Bintaro Jaya, Pondok Perasi dan pantai di Kampung Bugis, Ampenan, sejak tahun 2012. Tekadnya untuk mengabdi pada lingkungan dengan cara membeningkan pantai-pantai di Ampenan, tidak pupus meski dengan risiko harus menghadapi serangkaian tudingan.

Bersama Kelompok Lestari Alamku (KLA), Ocong pun menggagas bermacam-macam lomba untuk meningkatkan minat masyarakat dalam menjaga lingkungan pantai. Misalnya, dengan mengadakan lomba memungut sampah, yang diadakan bergilir setiap minggu di masing-masing pantai.

"Sempat terkumpul dana Rp20 juta sumbangan dari teman-teman yang digunakan untuk membeli hadiah saat lomba. Teman-teman tidak sangsi, karena saya selalu meng-upload setiap ada sumbangan yang masuk, disertai jumlah pengeluaran. Di sini ada transparansi dan bisa dipertanggungjawabkan," katanya dengan nada antusias.

Sikap antusias juga ditunjukkan warga, yang menjadi gemar menjaga lingkungan seiring dengan seringnya diadakan lomba, serta adanya sosialisasi dari Ocong dan KLA. Akhirnya Ocong berkoordinasi dengan bank sampah, sehingga sampah plastik yang dikumpulkan warga akan dibeli. Sampah plastik itu dibeli bank seharga Rp1.000/kg, dan selalu diberi tambahan oleh Ocong dan KLA Rp1.000 pula setiap kilogramnya. Jadi warga yang menjual sampah 1 kg akan mendapatkan uang Rp2 ribu. Inilah satu hal yang membuat warga kian antusias memunguti sampah di pantai.


                                             Mobil Pengangkut Sampah

Melihat keantusiasan warga, Ocong menghubungi para pemangku kepentingan untuk membantu mengatasi permasalahan sampah di kawasan Pantai Ampenan. Sayangnya, dinas terkait yang dihubungi Ocong, tidak bisa menjanjikan mobil pengangkut sampah, berhubung jumlahnya yang terbatas di Kota Mataram.

Ocong sempat mempertegas tidak perlu setiap hari sampah diangkut, namun dua hari sekali pun sudah memadai, demi menjaga kebersihan di lingkungan pantai. Akan tetapi, sejak tahun 2012 sampai 2104, tetap tidak ada tanggapan terkait keberadaan mobil pengangkut sampah.

Ketiadaan tanggapan dari dinas terkait, membuat sebagian warga kembali pada kebiasaan lamanya dengan membuang sampah secara langsung ke laut. Akibatnya, sebagian permukaan laut di kawasan Ampenan menjadi kotor dan mengakibatkan wisatawan enggan bertandang karena pantai menjadi kumuh dan tidak elok dipandang.

"Inilah yang sungguh saya sayangkan, ketiadaan mobil pengangkut, membuat sampah tetap menjadi permasalahan tak terselesaikan di kawasan pantai di Ampenan. Padahal, saya sudah lama menggadang-gadang menjadikan tiga pantai itu sebagai objek wisata," ucap suami dari Ayu Setiawati ini.

Ketiga pantai yang digadang-gadang Ocong ini, jika tidak dalam kondisi kotor, sesungguhnya menampilkan keindahan yang menawan. Air lautnya membiru, di kejauhan terlihat bayang Gunung Agung di Pulau Bali dan deretan perahu nelayan beraneka warna yang mempercantik panorama pantai.

Bukan hanya pemandangan alam yang membuat pantai di Ampenan menarik, melainkan karena terdapat unsur sejarah yang melatarbelakanginya karena terdapat Pelabuhan Ampenan yang dibangun Belanda pada tahun 1924. Berpuluh tahun silam, Pelabuhan Ampenan merupakan pelabuhan besar yang sangat penting keberadaannya bagi aktivitas lintas perdagangan. Namun kini, aktivitas itu tidak ditemukan lagi karena pelabuhan telah dipindahkan ke Lembar.

Unsur latar belakang ini, diharapkan Ocong pada saatnya nanti akan kembali mencuatkan nama Ampenan sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi. Akan tetapi, Ocong lagi-lagi menegaskan bahwa permasalahan sampah masih menjadi keprihatinan yang patut dicari solusinya supaya destinasi di Ampenan nyaman menjadi tempat berlibur.

"Selain prihatin dengan kondisi pantai, saat ini kami juga lagi mengkhawatirkan nasib dua orang papuq yang tinggal di Pantai Bintaro Jaya. Kami sedang mengumpulkan dana untuk membangunkan rumah bagi kedua orang `papuq` itu," ujar Ocong.

Papuq adalah sebutan untuk kakek atau nenek di Lombok. Kedua papuq itu, menempati bangunan seadanya yang jaraknya hanya 10 meter dari pantai. Kondisi bangunan yang begitu sederhana, disertai prediksi bulan Oktober ini angin dan ombak akan kencang menerjang ke daratan, membuat Ocong mulai mengumpulkan dana bersama teman-temannya. Saat ini sudah terkumpul Rp7.350.000, yang akan dipergunakan untuk membangun dua rumah bagi kedua papuq yang masing-masing berusia 120 tahun dan 90 tahun.

"Mereka sudah tua. Keluarga mereka kesulitan mengulurkan bantuan karena sama-sama dalam kondisi terbelit kemiskinan. Kami menolong karena iba, kalau ombak besar, bagaimana nasib mereka nanti," ujar Ocong dengan wajah muram.


                              Wisata Kuliner

Sementara itu, perlahan-lahan untuk mendekatkan masyarakat pada pantai di Ampenan, Ocong sesekali mengadakan wisata kuliner di Pantai Bintaro Jaya. Keberadaan wisata kuliner ini, diharapkan akan menjadi inspirasi bagi warga untuk mengadakan lesehan ikan laut bakar di objek itu.

"Pantai Bintaro Jaya ini merupakan tempat nelayan mendarat sehabis mencari ikan di laut. Ikannya selalu dalam keadaan segar. Harusnya ini menjadi potensi bagi warga untuk membuka usaha kuliner ikan bakar supaya ada pemberdayaan dan peningkatan perekonomian warga," ucap pria yang pernah merantau di Jakarta selama 31 tahun ini.

Usaha kuliner ikan bakar dijajal Ocong beserta teman-temannya dengan membuka stan berjualan setiap Minggu sore. Cukup dengan membayar Rp50 ribu, maka pembeli bisa makan sepuasnya beragam ikan bakar segar pilihan dan cita rasa sambal yang khas.

Menu andalan yang ditawarkan adalah ikan tongkol bakar, kekeh atau kerang kecil, ikan bumbu kuning dan rujak buah. Mayoritas pembeli memilih ikan tongkol bakar, karena rasanya sangat pas disantap di tepi laut sambil merasakan semilir angin dan menikmati pemandangan laut lepas yang membiru.

"Apa yang kami lakukan sebenarnya bertujuan agar masyarakat mengikuti langkah kami, mengingat potensi ikan ini amat besar, tapi belum dikelola maksimal. Coba kalau masyarakat membuat lesehan ikan bakar, lama-lama kawasan ini akan menjadi ramai dengan pengunjung, dan berdampak memperbaiki taraf hidup warga sekitar," katanya.

*) Penulis buku dan artikel