Jejak "Human Trafficking" di Bumi Gora (I)

id Human trafficking

Jejak "Human Trafficking" di Bumi Gora (I)

Human trafficking (Ist)

Saya sebenarnya ingin kembali saja ke Indonesia, karena kondisi badan saya seperti ini. Tapi bagaimana caranya, uang yang saya miliki terbatas untuk membeli tiket pesawat
"Awal Oktober 2014, saya meninggalkan istri dengan anak yang belum genap satu tahun. Saya bertekad pergi ke Malaysia untuk memperbaiki nasib dan dijanjikan untuk bekerja di pabrik plastik. Sesampai di Malaysia, ternyata saya dipekerjakan di tempat rongsokan di Taman Johor Jaya, Johor Baru, Malaysia," ucap Haerudin, warga Babakan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tekad untuk lepas dari jerat kemelaratan dan bisa menghidupi keluarga secara layak, dikatakan Haerudin menjadi latar belakang utama mengapa dirinya meninggalkan Bumi Gora dan berharap dapat mendapat rejeki secara memadai di Malaysia.

Lelaki berusia 40 tahunan ini juga mengharapkan rejeki yang didapatkan dapat dikumpulkan untuk menjadi modal usaha, jika dirinya pulang kampung ke Mataram.

"Tadinya saya berharap bisa mengumpulkan rejeki menjadi modal berkebun kalau sudah pulang ke Lombok, tapi entahlah bagaimana sekarang ini saya bisa menabung. Sehari saya dapat RM 40, tapi saya setiap bulan mempunyai pengeluaran RM 150 untuk sewa tempat tinggal," ujar Haerudin.

Lelaki asal Lombok Timur ini menyatakan, bekerja di tempat rongsokan, akhir-akhir ini membuat kondisi fisiknya mengalami gangguan. Sudah dua minggu belakangan ini, badannya sebelah kanan kesulitan digerakkan.

Dia tidak bisa membawa berobat karena keterbatasan dana yang dimiliki, serta tidak ada perhatian dari "tauke" atau majikan tempatnya bekerja. Keterbatasan gerakan ini membuat Haerudin hanya bisa bekerja dengan menggunakan tangan kiri, sebisa yang dia mampu kerjakan.

"Saya sebenarnya ingin kembali saja ke Indonesia, karena kondisi badan saya seperti ini. Tapi bagaimana caranya, uang yang saya miliki terbatas untuk membeli tiket pesawat. Jadi saya hanya mencoba bertahan semampu yang bisa saya lakukan, sembari mengumpulkan uang sedikit-sedikit untuk membeli tiket pulang," ucap Haerudin dengan nada pilu.

Kepiluan nasib akibat terpedaya ketika mencari kerja tidak hanya dialami Haerudin semata. Bahkan, sebagian besar tenaga kerja yang mengalami nasib pilu itu tidak terungkap ke permukaan. Tipu daya ini, tanpa banyak yang menyadari, sesungguhnya terkategori dalam tindak "human trafficking" atau perdagangan manusia.

Merujuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), definisi human trafficking adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, serta bentuk-bentuk pemaksaan lain berupa penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

Berdasarkan data International Organization for Migration (IOM) atau organisasi buruh internasional, sejak 2004 hingga 2010 telah dipulangkan dan diintegrasi lebih dari 4.000 korban human trafficking di Indonesia.

Latar belakang terjadinya jejak kasus human trafficking adalah jeratan kemiskinan atau terlilit utang tanpa memiliki solusi untuk dapat melunasi, terkena pemutusan hubungan kerja, rendahnya gaji di tingkat buruh dan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia.

Padahal, iming-iming jika bekerja di luar negeri akan membuat seseorang berlimpah harta, dan sontak akan melepaskan seseorang dari jerat kemiskinan, belum tentu akan terwujud kebenarannya.


                                                              Gadis di Bawah Umur


Sabtu, 6 September 2014, Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat, NTB, masih diselimuti bayang-bayang kegelapan, tatkala mendadak sejumlah aparat kepolisian merobek keheningan dini hari, saat melakukan langkah penggagalan upaya human trafficking.

Beberapa wanita, termasuk empat gadis di bawah umur, direncanakan untuk diberangkatkan menuju Mesir melalui Bumi Mas Katong Besari, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang tidak jelas, dengan sponsor Syaifullah.

Empat gadis yang masih di bawah umur itu, masing-masing adalah La (14 tahun), Li (14 tahun), Ald (14 tahun) dan Dna (15 tahun), yang berasal dari Desa Gapit, Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa, dijanjikan akan dipekerjakan di sebuah salon di Mesir.

Gadis-gadis di bawah umur tersebut, dan sejumlah perempuan lainnya, hendak dikirim secara ilegal sebagai tenaga kerja di mancanegara.

Kabid Penempatan dan Perluasan Lapangan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Sumbawa Nurhikmah menyebutkan bahwa pengiriman TKI ilegal tidak mudah dideteksi, karena mempraktikkan berbagai macam modus untuk mengelabui aparat berwajib supaya bisa lolos ke negara tujuan.

Salah satu modus pengiriman TKI ilegal adalah dengan menggunakan jasa travel yang diatur sepenuhnya oleh pihak sponsor.

Beberapa wanita yang beberapa waktu lalu pengirimannya digagalkan pihak kepolisian di Pelabuhan Poto Tano, disebutkan akan dikirim ke Mesir, padahal kenyataannya saat ini tidak ada lowongan pekerjaan di negara tersebut. Lowongan yang tersedia di Timur Tengah adalah di Oman, Bahrain dan Arab Saudi, ungkap Nurhikmah.

Dia melanjutkan, ke depan untuk meminimalisir modus pengiriman tenaga kerja ilegal serta human trafficking, maka pihak Disnakertrans akan membenahi diri, di mana setiap sponsor akan diberi identitas berupa kartu pengenal.

"Jadi masyarakat atau pemerintah desa hendaknya tidak akan menerima sponsor yang tidak bisa menunjukkan kartu pengenal. Langkah ini kami lakukan untuk meminimalisir pengiriman tenaga kerja ilegal sekaligus mencegah kasus human trafficking," ucap Nurhikmah.


                                                      Tersangka Human Trafficking


Kesigapan petugas berwajib menuai hasil, ketika Polda NTB menetapkan seorang tersangka human trafficking atau perdagangan manusia atas nama Suryono (52), terkait pengiriman dan penempatan dua perempuan Lombok yang tidak sesuai prosedur ke Malaysia.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTB melalui Kasubdit IV AKBP Jon Wesly Arianto menyatakan bahwa Suryono telah ditetapkan sebagai tersangka karena telah melanggar Undang-Undang Nomor 39/2004 Pasal 102 dan 103 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.

"Tersangka saat ini sudah kami tahan, penetapannya berawal dari tindak lanjut laporan dua perempuan asal Lombok Timur yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi selama berada di Malaysia," ujarnya.

Kedua perempuan asal Lombok Timur itu adalah HW (20) warga Pringgabaya dan SU (23) asli Sakra. Keduanya datang melapor ke Polda NTB pada 23 Oktober 2014, setelah mendapat arahan dan bantuan dari pihak Atase Kepolisian yang ada di Malaysia.

"Mereka melapor telah diperlakukan dengan cara tidak manusiawi selama di Malaysia. Sesampainya di Malaysia, mereka tidak langsung dipekerjakan, melainkan ditempatkan di penampungan sampai sebulan lamanya," ujar Jon Wesly.

Dia melanjutkan, kedua perempuan itu mengaku saat di penampungan pernah meminta untuk dipulangkan ke Indonesia, namun tidak juga diizinkan. Bahkan, kata Jon Wesly, rambut mereka tidak boleh panjang dan harus dipotong pendek.

Terkait hal itu, keduanya secara sembunyi-sembunyi mendatangi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Atase Kepolisian di Malaysia. Mereka melaporkan atas perilaku yang diterima selama di penampungan. Berdasarkan hal itu, keduanya dipulangkan dan dirujuk ke Polda NTB.

Setelah menindaklanjuti laporannya, penyidik menemukan nama Suryono sebagai pengirimnya dan langsung dilakukan pemanggilan untuk diperiksa. Selanjutnya, berdasarkan kelengkapan alat bukti dan keterangan para saksi, akhirnya Suryono ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap pada 20 November 2014.

Jon Wesly menerangkan bahwa Suryono ditahan karena diketahui telah mengirim kedua TKI tidak melalui badan yang sah dari pihak imigrasi atau secara ilegal. Selain itu, Suryono tidak menggunakan kelengkapan administrasi dari pihak imigrasi seperti memberikan pelatihan, tes kesehatan, dan kartu kerja di luar negeri untuk calon TKI.