"Nyalamak Dilaok" Sebuah Kisah Nelayan Labuan Lalar

id selamatan laut pariwisata

"Nyalamak Dilaok" Sebuah Kisah Nelayan Labuan Lalar

Iring-iringan perahu nelayan pada acara "Nyelamak Dilaok"

"Serone" (sejenis terompet) dan "gandah pancak" (gendang pencak silat) itu mengiringi ritual "nyalamak dilaok" (selamatan laut) yang digelar setiap tahun di pesisir pantai ujung barat Pulau Sumbawa"
Suara "serone" yang melengking diiringi alunan "gandah pancak" membahana di sebuah perkampungan nelayan Suku Bajo yang tinggal di pesisir Desa Labuan Lalar, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

"Serone" (sejenis terompet) dan "gandah pancak" (gendang pencak silat) itu mengiringi ritual "nyalamak dilaok" (selamatan laut) yang digelar setiap tahun di pesisir pantai ujung barat Pulau Sumbawa.

Suara serone yang terus-menerus dengan tempo gong serta gendang yang monoton, mengingatkan pada hampir semua bunyi musik tradisi dari seluruh daerah di negeri ini.

Tradisi nyelamak dilaok itu dilaksanakan oleh suku pendatang yang tinggal di pesisir Desa Labuan Lalar, Kecamatan Taliwang, yakni suku Bajo, Mandar, Bugis, dan Banjar bersama penduduk lokal Suku Samawa (etnis di Kabupaten Sumbawa/Sumbawa Barat).

Jafar, Pemuka Adat Desa Labuan Lalar menuturkan pelaksanaan upacara selamatan laut merupakan bentuk kesepakatan sejumlah suku yang ada di Desa Labuan Lalar.

Masing-masing suku berkontribusi dalam pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari pengadaan kerbau sebagai hewan kurban untuk upacara selamatan laut hingga pelaksanaan upacara.

Upacara selamatan laut itu berawal dari kisah seorang penduduk asli di Desa Lalar Liang yang melahirkan anak kembar, salah satunya berwujud ikan.

Konon, setiap malam Jumat bayi yang berwujud ikan itu selalu datang ke rumah keluarga yang melahirkan sehingga perlu digelar ritual.

Suku pendatang dan penduduk lokal kemudian sepakat menggelar ritual "nyelamak dilaok" dengan maksudkan agar jiwa bayi yang berwujud ikan itu merasa tenang hidup di laut.

Tradisi "nyelamak dilaok" yang dilakukan secara gotong royong itu mencerminkan rasa kebersamaan dan persatuan antarsuku, termasuk penduduk lokal yang ada di pesisir pantai Labuan Lalar.

Oleh karena itu, berbagai keperluan untuk pelaksanaan upacara selamatan laut dilakukan secara bersama-sama oleh suku-suku yang ada di perkampungan nelayan tersebut.

Inti prosesi selamatan laut adalah "malagak tikolok" atau membuang kepala kerbau ke dalam laut, tepatnya di Gili (pulau kecil) Puyung yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari pesisir pantai.

Prosesi melagak tikolok tersebut sebagai wujud rasa syukur para nelayan atas rezeki hasil tangkapan ikan sebagai sumber mata pencaharian mereka disertai harapan agar kesejhateraan para nelayan semakin meningkat.

Ritual tersebut diawali dengan prosesi "ngireh" (mengarak kerbau) keliling kampung yang diikuti seluruh warga sekaligus sebagai pemberitahuan bahwa hewan itu akan dijadikan kurban pada upacara selamatan laut.

Setelah kerbau disembelih di pinggir pantai, daging kerbau dijadikan menu untuk makan bersama, termasuk para undangan. Kepala kerbau akan dibuang ke laut sebagai persembahan.

Pada malam hari, kepala kerbau diinapkan di sebuah tempat yang dalam bahasa Suku Bajo disebut "matidor baka ngandakahang tikolok". Dalam prosesi ini, kepala kerbau dijaga oleh seorang sandro (dukun) dari Suku Mandar.

Pada prosesi itu juga dilakukan ritual "ngumoh" atau membakar kemenyan atau dupa agar kepala kerbau tidak mengeluarkan bau dan terhindar dari roh jahat.

Acara puncak nyelamak dilaok adalah "melagak tikolok" atau membuang kepala kerbau di laut yang dilakukan sandro dari Suku Mandar di sebuah gili (pulau kecil) Puyung yang lokasinya berjarak 1 kilometer dari pesisir pantai.

Pada ritual tersebut rakit yang membawa kepala kerbau dan perlengkapan upacara berada di barisan terdepan diiringi ratusan perahu nelayan yang dihias. Rakit tersebut tidak boleh didahuli oleh perahu lainnya.

Setelah iring-iringan sampai di lokasi malagak tikolok, kepala kerbau diceburkan ke dalam laut oleh sandro diikuti sorak-sorai orang-orang yang ikut menyaksikan acara tersebut.

Setelah ritual malagak tikolok, ada pantangan selama sehari tidak boleh melaut menangkap ikan. Sebelumnya, larangan itu berlaku selama seminggu. Jika ada yang melanggar larangan dapat dijatuhi sanksi.

Menurut Jafar yang juga Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Labuan Lalar, larangan tersebut dimaksudkan agar kelestarian laut tetap terjaga dan hasil tangkapan nelayan makin banyak.

Tradisi "nyelamak dilaok" yang diwarisi secara turun-temurun oleh warga pesisir Desa Labuan Lalar sejak puluhan tahun silam itu merupakan kearifan lokal yang mengandung berbagai keunikan.

Namun, selama ini kearifan lokal bersifat bahari itu belum dikenal luar oleh masyarakat, terutama di luar Kabupaten Sumbawa Barat.

Oleh karena itu, menurut Jafar, tradisi "nyelamak dilaok" perlu dipromosikan baik di dalam maupun luar negeri agar potensi wisata bahari itu dikenal luas oleh masyarakat di Nusantara maupun internasional.

Upacara selamatan laut tersebut bisa dijadikan salah satu daya tarik wisata selain objek wisata alam dan bahari yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat.

"Oleh karena itu, kami sudah bersurat ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nusa Tenggara Barat agar tradisi itu dimasukkan kalender pariwisata tahunan sehingga bisa dijadikan daya tarik wisata," kata Jafar.

Desa Labuan Lalar merupakan salah satu wilayah Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, yang penduduk sekitar 75 persen menggantungkan hidup sebagai nelayan.



Kearifan Lokal

Masyarakat pesisir itu juga masih memegang teguh tradisi sebagai kearifan lokal yang bersifat bahari.

Desa Labuan Lalar bisa ditempuh dalam waktu empat hingga lima jam dari Kota Mataram dengan menyeberangi Selat Alas menggunakan kapal ferry.

Bila menggunakan bus untuk berkunjung ke berbagai objek wisata di Kabupaten Sumbawa Barat, termasuk Desa Labuan Lalar tidak membutuhkan biaya besar, cukup Rp80 ribu per orang.

Selain kearifan lokal bersifat bahari, Kabupaten Sumbawa Barat juga kaya dengan potensi wisata, terutama wisata bahari, seperti Pantai Jelenga, Benete, Maluk dan Pantai Tropy yang dikenal memiliki gelombang tinggi yang cocok untuk surfing.

Sejak beberapa tahun terakhir, objek wisata di Kabupaten Sumbawa Barat tersebut makin ramai dikunjungi wisatawan nusantara maupun mancanegara, terutama yang senang bermain surfing.

Secara kultural, masyarakat Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, sejatinya berakar kuat pada tradisi laut. Dari sekitar 1.000 desa di NTB. Lebih dari separuhnya merupakan desa pantai.

Budaya kebaharian yang berakar pada tradisi masyarakat pesisir juga masih kental mewarnai kehidupan warga, terutama di Pulau Sumbawa.

Begitu pula, kearifan lokal (awig-awig) untuk menjaga kelestarian pantai dan laut, masih tetap dipertahankan komunitas nelayan.

Kekayaan budaya, pantai nan eksotik yang dihiasi pasir putih sebesar biji merica dan kearifan lokal yang bersifat bahari dapat dijadikan modal pengembangan industri pariwisata di NTB.

Oleh karena itu, untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Sumbawa Barat diperlukan dukungan pemerintah, baik pusat maupun daerah, terutama untuk membangun berbagai fasilitas penunjang di objek wisata tersebut.

Berbagai potensi itu bisa dimanfaatkan untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke NTB sehingga target mendatangkan 3.000.000 wisatawan pada tahun 2016 akan tercapai.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB menargetkan kunjungan 3.000.000 wisatawan yang terdiri atas 1,5 juta wisatawan mancanegara dan 1,5 juta wisatawan nusantara pada tahun 2016.

"Pada tahun 2016 kami mengawali proses promosi dan `branding` kegiatan pariwisata. Kami menargetkan 3.000.000 wisatawan," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB Lalu Mohammad Fauzal pada acara Launching Branding Pesona Lombok Sumbawa dan Kalender Event 2016 di Balairung Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona Kementerian Pariwisata, Jakarta.

Fauzal mengatakan bahwa pada tahun 2016 adalah pertama kali NTB memberanikan diri menargetkan angka kunjungan wisatawan yang jumlahnya sama antara wisatawan nusantara dan mancanegara.

Ia menyatakan optimistis pada tahun 2016 target kunjungan wisatawan akan tercapai, bahkan dapat terlampaui.

"Dari pasar domestik, sangat menjanjikan. Oleh karena itu, kami menargetkan 3.000.000 wisatawan sebagai kontribusi kunjungan 20 juta wisatawan ke Indonesia berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMNAS)," katanya.

Ia mengungkapkan perubahan slogan menjadi "Pesona Lombok Sumbawa" tersebut mengikuti slogan yang digunakan oleh Kementerian Pariwisata, yaitu "Pesona Indonesia".

Deputi Pemasaran Pariwisata Nusantara Kementerian Pariwisata Esthy Reko Astuty turut mengapreasiasi perubahan slogan pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2016.

"Saya coba `browsing` apakah ada provinsi yang `branding` dengan pesona. Ternyata NTB adalah yang pertama kali. Kita apresiasi untuk kecepatannya," kata Esthy.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata jumlah kunjungan wisnus ke NTB, sebagian besar mengunjungi objek wisata alam, budaya, dan buatan di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Wisata Bahari yang berkaitan dengan kearifan lokal bersifat bahari. Misalnya, tradisi "nyelamak dilaok" di perkampungan nelayan Desa Labuan Lalar itu bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup sebagai nelayan dengan hasil tidak menentu.(*)