BKP NTB Kampanyekan Bahaya Konsumsi Beras Berlebihan

id BKP NTB

"Kami terus menyadarkan masyarakat bahwa indeks glikemik yang terkandung dalam beras atau nasi putih cukup tinggi,"
Mataram (Antara NTB) - Badan Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Barat terus mengampanyekan bahaya konsumsi beras secara berlebihan terhadap kesehatan berupa potensi penyakit diabetes melitus atau kencing manis akibat kandungan gula dalam nasi yang diserap oleh darah.

"Kami terus menyadarkan masyarakat bahwa indeks glikemik yang terkandung dalam beras atau nasi putih cukup tinggi," kata Sekretaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Nusa Tenggara Barat (NTB) Prihatin Haryono, di Mataram, Selasa.

Indeks glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap glukosa darah.

Menurut pria yang biasa disapa Yon ini, indeks glikemik normalnya berada di bawah angka 70 atau paling rendah 55 sesuai yang dianjurkan pakar kesehatan.

Sementara glikemik yang terkandung dalam beras atau nasi putih mencapai 88-89 atau tergolong tinggi dibanding sumber karbohidrat lain yang dibutuhkan tubuh manusia, seperti jagung sebesar 55-60 atau tergolong kandungan glikemik sedang.

Umbi-umbian juga memiliki kandungan glikemik yang rendah dan baik untuk kesehatan tubuh manusia, seperti singkong di bawah 55, talas 54, ubi jalar 54, ganyong 65.

"Gandum juga punya kandungan glikemik sebesar 89 atau sama efek negatifnya dengan nasi putih bagi kesehatan manusia jika dikonsumsi secara berlebihan," ujarnya.

Dari data yang dihimpun, kata dia, pola konsumsi penduduk NTB belum seragam. Hal itu dilihat dari skor pola pangan harapan (PPH) sebesar 81,3, di mana konsumsi beras tertinggi, yakni mencapai 117,3 kilogram/kapita/tahun pada 2015.

Konsumsi beras penduduk NTB tersebut memang mengalami penurunan sebesar 0,22 persen dibanding kondisi tahun 2012, namun belum mencapai konsumsi ideal sebesar 100,3 kilogram/kapita/tahun.

Menurunnya konsumsi beras, menurut Yon, seharusnya diikuti dengan peningkatan konsumsi umbi-umbian sebagai bahan makanan sumber karbohidrat pengganti beras yang lebih menyehatkan bagi tubuh manusia.

Namun, pada kenyataannya bahwa konsumsi umbi-umbian penduduk NTB mengalami penurunan tahun 2012-2015 sebesar 14,97 persen.

Konsumsi umbi-umbian pada 2015 sebesar 6,9 kilogram/kapita/tahun masih jauh di bawah konsumsi ideal, yaitu 36,5 kilogram/kapita/tahun.

"Hal itu menunjukkan bahwa umbi-umbian belum dipergunakan sebagai bahan makanan sumber karbohidrat, masih sebagai kudapan atau jajanan," ucap Yon.

Untuk meningkatkan konsumsi pangan nonberas dan nonterigu, kata dia, pihaknya juga gencar mengampanyekan gerakan diversifikasi pangan.

Semua pihak, baik pemerintah maupun swasta juga harus mendukung kampanye diversifikasi pangan tersebut dengan menyediakan olahan pangan lokal nonberas dan nonterigu dan buah sebagai kudapan pada setiap jamuan, pertemuan dan rapat-rapat.

"Kami juga minta pada asosiasi perhotelan untuk mengurangi penyediaan menu makanan pokok karbohidrat dari beras diganti dengan karbohidrat alternatif nonberas, seperti jagung, ubi, pisang dan lain-lain," katanya.

Kepala Dinas Kesehatan NTB drg Eka Junaidi mengakui penyakit diabetes melitus di daerahnya masih tergolong tinggi.

Jumlah penderitanya belum diketahui secara pasti, namun data Dinas Kesehatan Kota Mataram jumlah penderita diabetes melitus yang terdata hingga akhir 2015 mencapai 1.313 orang dengan usia penderita mulai dari 30 tahun ke atas.

Ia menjelaskan, penyakit diabetes melitus atau kencing manis adalah ibu dari segala penyakit karena dari penyakit tersebut segala komplikasi yang membahayakan nyawa penderita berasal.

Khusus di NTB, penyakit tersebut masih menjadi momok. Karena dari beberapa penyakit, kencing manis menjadi penyakit tertinggi ketiga penyebab kematian di daerah itu. Bahkan, jumlahnya diperkirakan akan bertambah.

"Penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku manusia, terutama gaya hidup," katanya. (*)