Kekerasan Terhadap Anak di NTB 538 Kasus

id Kasus Anak

Kekerasan Terhadap Anak di NTB 538 Kasus

ilustrasi - Gerakan Menentang KekerasanAnak Anak-anak membawa poster pada acara Pencanangan Gerakan Nasional Menentang Kekerasan Terhadap Anak di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta. (ANTARA News) (1)

"Jumlah kasus terbesar adalah kekerasan seksual anak dan predator anak"
Mataram (Antara NTB) - Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Nusa Tenggara Barat mencatat kekerasan terhadap perempuan dan anak selama periode Januari-Juni 2016 sudah mencapai 538 kasus.

"Jumlah kasus terbesar adalah kekerasan seksual anak dan predator anak," kata Kepala P2TP2A Nusa Tenggara Barat (NTB) Hj Ratnaningdiah, pada acara pembentukan Forum Koordinasi Program Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bagi Lembaga Masyarakat, Dunia Usaha dan Media, di Mataram, Kamis.

Data tersebut, kata dia, diperoleh dari Kepolisian Daerah (Polda) NTB sebanyak 130 kasus, Kabupaten Dompu 79 kasus, Lombok Timur 77 kasus, Lombok Barat 54 kasus, Lombok Tengah 52 Kasus, Sumbawa 39 kasus, Kota Mataram 35 kasus, Kabupaten Lombok Utara 23 kasus, Bima 20 kasus, Kota Bima 18 kasus dan Kabupaten Sumbawa Barat 11 kasus.

Berdasarkan hasil pemantauan ke seluruh kabupaten/kota di NTB, menurut Ratnaningdiah, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kemiskinan, rapuhnya ketahanan keluarga, teknologi dan informasi yang tidak terkendali serta pendidikan dan sumber daya manusia yang masih rendah.

"Hampir seluruh korban kekerasan terhadap perempuan dan anak berasal dari keluarga miskin, bahkan pelakunya juga sebagian besar orang miskin," ujarnya.

Mantan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) NTB ini khawatir angka kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga akhir tahun 2016 akan semakin meningkat dibandingkan tahun 2015 sebanyak 1.279 kasus.

Oleh sebab itu, Ratnaningdiyah mengaku sudah melaporkan temuan data-data dan faktor penyebabnya kepada Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, serta Komisi V DPRD NTB agar mendapatkan perhatian serius.

"Saya melaporkan masalah tersebut bukan semata-mata karena persoalan anggaran, tapi saya ingin semua pihak peduli dengan fakta yang terjadi, terlebih kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hampir terjadi setiap hari," ucapnya.

Ia juga meminta Pemerintah Provinsi NTB dan kabupaten/kota untuk lebih memperhatikan masalah pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri karena banyak yang meninggalkan anak-anak mereka, sehingga rentan menghadapi kekerasan dan seksual di sekitar lingkungannya.

Wanita yang aktif mengadvokasi perempuan dan anak korban kekerasan dan seksual ini juga menyarankan agar kalangan DPR RI merevisi Undang-Undang Perkawinan yang membolehkan perkawinan pada usia 16 tahun bagi kaum perempuan.

"Di perdesaan banyak ditemukan perempuan begitu gampang diceraikan, sehingga ada yang usia 18 tahun sudah kawin cerai sampai tiga kali dengan pasangan yang berbeda-beda," katanya. (*)