UMKM Disabilitas di Lombok Kesulitan Memasarkan Produk

id Kerajinan Disabilitas

UMKM Disabilitas di Lombok Kesulitan Memasarkan Produk

Tas dari bahan baku kain tenun songket dan tas rajutan dari benang produksi para perempuan penyandang disabilitas di Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. (ANTARA NTB/Awaludin) (1)

"Hanya ini keterampilan saya untuk bisa mendapatkan rezeki. Tapi pemasarannya sulit sekali"
Lombok Tengah (Antara NTB) - Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah para penyandang disabilitas di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, mengaku kesulitan memasarkan produk kerajinan karena minim fasilitasi dari pemerintah daerah.

"Kami kesulitan memasarkan produk, sehingga hanya menunggu pesanan baru melakukan produksi," kata Nurul, salah seorang pengrajin tas berbahan baku kain tenun songket di Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah, Selasa.

Nurul merupakan satu dari 20 perempuan penyandang disabilitas anggota Koperasi Pade Angen di Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah, yang memproduksi tas berbahan baku kain tenun songket dan tas rajutan dari benang.

Keluhan susahnya memasarkan produk kerajinannya diungkapkan pada saat menerima kunjungan Ketua Gabungan Pelaksana Jasa Konstruksi Indonesia (Gapensi) NTB H Faurani, SE.

Upaya pemasaran, kata Nurul, lebih banyak mengandalkan kenalan. Misalnya, tenaga kerja wanita (TKW) yang akan kembali ke negara penempatan setelah habis masa cuti, membeli tas kain tenun untuk dijadikan oleh-oleh buat rekan kerjanya.

Selain itu, momen kegiatan berskala nasional yang digelar di Kota Mataram, juga dijadikan sebagai ajang memasarkan tas kain tenun songket yang harganya Rp15.000 hingga Rp25.000 per lembar.

"Waktu kegiatan Rapat Kerja Nasional Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia di Mataram, kami juga sempat memasarkan, lumayan laku ratusan tas karena difasilitasi Hj Dewi Mutik Pramono," ujarnya.

Ketua Koperasi Pade Angen, Sri Sukarni, menambahkan, selain masalah kesulitan pemasaran, pihaknya juga dihadapkan pada masalah masih minimnya permodalan untuk membeli bahan baku.

Oleh sebab itu, ia berinisiatif mengajak rekan-rekannya membentuk koperasi simpan pinjam pada awal 2015 dengan mengumpulkan simpanan wajib sebesar Rp2 juta dan simpanan pokok Rp10.000 per bulan.

Namun untuk mengumpulkan simpanan wajib tersebut dirasa cukup berat karena seluruh anggota dari kalangan ekonomi kurang mampu, sehingga terpaksa dicicil sebesar Rp10 ribu per bulan selama satu tahun.

"Makanya, kami belum mendapatkan izin dari pemerintah, sebelum simpanan wajib tercukupi," katanya.

Pembentukan koperasi bertujuan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap oknum rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga yang relatif tinggi.

Keluhan senada juga diungkapkan Zohariyah, salah seorang pengrajin gelang terbuat dari manik-manik plastik berbentuk bulat di Desa Labuapi, Kabupaten Lombok Barat, yang juga dikunjungi Ketua Gapensi NTB H Faurani, SE.

Ia mengaku hanya memproduksi ketika ada pesanan, meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit.

"Hanya ini keterampilan saya untuk bisa mendapatkan rezeki. Tapi pemasarannya sulit sekali. Mohon kami dibantu bagaimana bisa dipasarkan agar bisa produksi lebih banyak," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Gapensi NTB H Faurani, SE, akan mencoba membantu kesulitan para perempuan penyandang disabilitas tersebut agar mereka bisa mengembangkan usahanya menjadi lebih maju.

"Untuk tahap awal, saya bantu dulu dari sisi modal pembentukan koperasi. Ke depannya, akan dipikirkan, terutama bagaimana memasarkan produk kerajinan yang dihasilkan," ucapnya. (*)