Satpol PP: Mataram Terindikasi Tempat Pembuatan Tuak

id Miras Tradisional

Satpol PP: Mataram Terindikasi Tempat Pembuatan Tuak

ilustrasi - Polisi mengamankan puluhan jeriken berisi minuman keras tradisional.(ANTARA Foto)

"Belum lama ini kami menerima laporan bahwa ada indikasi pengelolaan tuak di kawasan Cakranegara"
Mataram (Antara NTB)- Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mataram Chairul Anwar menduga daerah ini terindikasi sebagai tempat pembuataan minuman keras tradisional jenis tuak.

"Belum lama ini kami menerima laporan bahwa ada indikasi pengelolaan tuak di kawasan Cakranegara," katanya kepada wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis.

Untuk menindaklanjuti indikasi tersebut, pihaknya segera melakukan koordinasi dengan aparat kelurahan dan kecamatan setempat guna memastikan informasi tersebut.

"Jika di lokasi itu benar ada pengelolaan tuak, dan mereka tidak memiliki izin resmi, kita langsung berikan tindakan," ujarnya.

Di samping itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan aparat di Kabupaten Lombok Barat, sebab bagaimana pun bahan baku pembuatan tuak tersebut berasal dari luar kota.

"Di Mataram mana ada `nao` (pohon nira untuk membuat tuak), kalau tidak datang dari luar, salah satunya Kabupaten Lombok Barat," sebutnya.

Menurutnya, minuman keras tradisional ini merupakan salah satu masalah yang menjadi fokus perhatian pemerintah kota, karena tidak jarang terjadi konflik sosial sebagai dampak dari minuman keras.

Karenanya, menindaklanjuti informasi terhadap indikasi pengelolaan tuak tersebut, Satpol PP Kota Mataram juga tengah mempersiapkan timnya termasuk tim dari peyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

"Jika sudah ada PPNS, kita bisa memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan aturan yang ada," katanya.

Termasuk bagi para pedagang tuak yang hingga saat ini masih berjualan secara demonstratif meski telah mendapat kompensasi dari pemerintah kota agar mereka beralih profesi.

"Tunggu tanggal mainnya, pedagang tuak akan kita tertibkan segera dan sanksi dalam perda akan diberlakukan," katanya.

Chairul mengatakan, sanksi bagi pedagang tuak yang dinilai melanggar kesepakatan bisa berupa tindak pidana ringan (tipiring).

Dalam perda iyu disebutkan tipiring bagi pedagang tuak adalah kurungan enam bulan dan denda sebesar Rp50 juta.

"Kita tidak lagi menggunakan upaya persuasif sebab hal itu sudah dilakukan oleh aparat kelurahan. Kalau kita sudah turun, langsung tindakan," katanya. (*)