BPS: Ketimpangan Pengeluaran Penduduk NTB Meningkat

id BPS NTB

BPS: Ketimpangan Pengeluaran Penduduk NTB Meningkat

"Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin," k
Mataram (Antara NTB) - Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat merilis tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di provinsi itu pada Maret 2017 mencapai 0,371 persen atau meningkat 0,012 poin dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

"Melihat data tersebut, seperti kata pedangdut H Rhoma Irama, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) NTB Hj Endang Tri Wahyuningsih, di Mataram, Senin.

Ia menjelaskan salah satu ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah gini ratio.

Nilai gini ratio berkisar antara 0-1. Semakin tinggi gini ratio menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi.

Endang menyebutkan gini ratio NTB pada 2010 tercatat sebesar 0,396 poin dan menurun menjadi 0,363 poin pada Maret 2011. Kemudian pada September 2011 naik menjadi 0,366 poin.

Pada periode Maret 2012 sebesar 0,348 poin hingga September 2014, nilai gini ratio mengalami fluktuasi dan mencapai angka tertinggi pada September 2014, yaitu sebesar 0,391 poin.

"Pada Maret 2015 mulai turun menjadi 0,368 poin dan terus menurun hingga mencapai angka 0,365 poin pada September 2016. Kemudian pada Maret 2017, gini ratio naik menjai 0,371 poin," katanya menyebutkan.

Makin besarnya ketimpangan pengeluaran, menurut dia, salah satunya disebabkan kenaikan harga bahan pokok. Di satu sisi, distribusi pendapatan penduduk miskin dengan yang kaya di NTB, belum merata sesuai harapan.

Oleh sebab itu, upaya yang harus dilakukan agar ketimpangan pengeluaran penduduk NTB semakin kecil adalah dengan pelaksanaan program yang berkaitan dengan kemiskinan secara terintegrasi.

Salah satu yang perlu mendapat perhatian semua pihak adalah program penyaluran beras untuk keluarga sejahtera (rastra).

Endang menegaskan, pelaksanaan penyaluran selama ini sudah cukup lancar, namun jatah yang harusnya diterima oleh rumah tangga sasaran tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya, akibat adanya kebijakan pemerataan pemerintah desa.

"Yang seharusnya dapat 25 kilogram, dapatnya hanya lima kilogram, bahkan ada yang dua kilogram. Padahal, beras menjadi salah satu sumber pengeluaran utama penduduk, terutama di perdesaan," ucapnya pula. (*)